Langsung ke konten utama

Kondisi Kampus dan Pengaruhnya Terhadap Mahasiswa

Kondisi Kampus dan Pengaruhnya Terhadap Mahasiswa
Oleh : Muhammad Hanif Zein Arrosin

Mahasiswa ialah manusia dalam periode remaja akhir menuju dewasa. Untuk mencapai tahap perkembangan periode dewasa, mahasiswa perlu mempersiapkan diri dengan mengembangkan satu karakteristik kemampuan berfikir orang dewasa, yaitu berfikir kritis. Berfikir kritis adalah kemampuan memperoleh dan mengakses informasi dalam upaya untuk menganalisis secara objektif suatu argumen dan mengembangkannya secara rasional, serta membuat kesimpulan (Hanurawan & Waterworth, 2004). Kemampuan berfikir kritis dapat dikembangkan dalam institusi pendidikan, termasuk di perguruan tinggi. Mahasiswa yang memiliki kecakapan dalam berfikir kritis memiliki kemampuan untuk melakukan pelaran dan analisis terhadap isu-isu yang ada di masyarakat serta mampu mengajukan alternatif solusi untuk memecahkan permasalah yang ada, serta mampu menganalisis terhadap permasalahan sosial budaya yang beredar. 

Perguruan tinggi atau kampus merupakan wilayah yang memiliki iklim akademis tinggi dan budaya keilmuaan yang harus dijaga. Iklim akademis yang tinggi dikarenakan masyarakat penghuninya merupakan mereka-mereka yang setiap hari mengenyam pendidikan. Berbagai macam forum-forum diskusi berupa seminar, dialog interaktif, maupun kuliah umum merupakan budaya akademis yang selalu berusaha untuk dipertahankan didalam kampus. Hal-hal seperti inilah yang menjadikan kampus sebagai suatu faktor yang paling bertanggung jawaban dalam pengembangan kecakapan berfikir mahasiswa.

Motivasi berprestasi merupakan faktor pendorong untuk menentukan progresifitas seorang mahasiswa dalam menjalani perkuliahan (Djaali, 2011:110). Motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai upaya sadar untuk melakukan suatu hal guna meningkatkan kapasitas diri. Motivasi berprestasi seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya yakni faktor situasi dan lingkungan (Sugianto,2009: 5-6 ). Motivasi berprestasi seorang mahasiswa bisa tumbuh apabila situasi lingkungan sekitarnya memaksanya untuk tetap hidup dengan cara berprestasi. Dalam konteks mahasiswa, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan kampus atau perguruan tinggi. Sebagai contoh misalnya, dosen memberikan tugas yang mampu merangsang mahasiswa untuk mengamati, menganalisis, dan menyimpulkan. Dengan pembentukan situasi yang demikian mahasiswa akan terdorong untuk berfikir kritis.

Pada era saat ini, identitas kampus sebagai pengembang kecapakan berfikir kritis mulai hilang. Hal ini disebabkan oleh kelakuan kampus yang memaksa mahasiswanya untuk menerima setiap wacana yang diedarkan. Ruang-ruang diskusi diadakan tidak atas kebutuhan mahasiswa ataupun sebagai bentuk kegiatan keseharian yang wajar dilakukan. Akan tetapi ruang-ruang diskusi hanya diciptakan sesuai dengan kepentingan beberapa pihak yang berafiliasi dengan Penguasa kampus, atau bahkan hanya sebatas untuk menunjukkan eksistensi sebuah lembaga dalam kampus. Hal ini sama saja dengan mencegah pertumbuhan pemikiran mahasiswa untuk berkembang. Sehingga, kenyataan yang ada berbanding terbalik dengan kondisi yang seharusnya terjadi pada diri mahasiswa. Pemilikan kecakapan berfikir kritis pada mahasiswa menjadi jauh dari kata ideal.

Kondisi diatas akan membawa mahasiswa kepada kebiasaan berfikir secara subjektif. Pemikiran-pemikiran yang berbasis pada analisis tidak berusaha untuk ditampilkan didalam kampus. Hal ini sebenarnya disebabkan oleh pola pembelajaran di kampus yang dilakukan hanya difungsikan sebagai ritual saja tanpa memperhatikan fungsi penting lainnya. Contoh misalnya, saat ini dosen berperan sebagai penyampai materi dan mahasiswa sebagai penerima. Pola yang terjadi yakni pola vertikal, dimana dosen memposiskan diri sebagai seseorang yang secara pengetahuan berada jauh diatas mahasiswa sehingga dosen merasa dialektika bersama kaum bawah tidak perlu dilakukan. Kesalahan ini membuat hubungan horizontal yang seharusnya terjadi, antara mahasiswa dengan dosen, menjadi hilang. Dan menutup peluang mahasiswa untuk mencoba berfikir kritis.

Motivasi berprestasi mahasiswa tidak berusaha untuk ditekan perkembangannya oleh kampus. Nilai-nilai mata kuliah yang ditampilkan dalam bentuk angka tidak dapat merepresentasikan kapasitas mahasiswa pada mata kuliah tersebut. Kampus tidak pernah mencoba menelisik bagaimana mahasiswa dapat memperoleh angka-angka tersebut. Padahal, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hanya segelintir mahasiswa yang memang mengerjakan tugas atau menjawab soal ujian dari hasil pemikirannya sendiri. Kondisi seperti ini tidak akan menumbuhkan semangat mahasiswa untuk berprestasi. Karena, yang ada didalam benak mahasiswa yakni kampus tidak akan pernah melihat dari mana nilai-nilai tersebut diperoleh, melainkan hanya melihat berapa nilai yang dapat diperoleh mahasiswa.

Namun ada satu hal yang sering hilang dari pandangan, yakni latar belakang mahasiswa. Latar belakang yang dimaksud yakni proses penerimaan mahasiswa oleh kampus. Misalnya, penerimaan mahasiswa tanpa melalui seleksi sama sekali. Atau, proses seleksi yang hanya melihat pada nilai rapor SMA calon mahasiswa, dan ini seringkali hanya sebatas formalitas, tanpa memperhatikan fungsi penting seleksi tersebut. Latar bekalang penerimaan mahasiswa ini sangat berpengaruh pada iklim yang akan terbentuk didalam kampus. Kampus yang tidak memperhatikan faktor ini, akan mengakibatkan kesalahan kampus dalam menentukan orientasi kegiatannya. 

Kampus yang faham akan background mahasiswanya, pasti faham juga dengan pola pembelajaran atau kegitan yang harus dilaksanakan. Kampus yang tidak menerapkan sistem seleksi dalam proses penerimaan mahasiswanya akan munculkan mahasiswa yang multi-orientasi dan multi-kapasitas intelektual. Alasan mahasiswa meneruskan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi pasti bermacam-macam. Ada yang benar-benar ingin meningkatkan kualitas diri, ada juga yang hanya sekedar tuntutan orang tua. Tugas pertama yang harus dilakukan oleh kampus yang memiliki kondisi seperti ini ialah menyamakan orientasi atau tujuan mahasiswa dalam menempuh pendidikan pada jenjang perguruan tinggi, sebelum melangkah kepada peningkatan kapasitas intelektual. Karena, usaha apapun yang dilakukan oleh kampus dalam rangka meningkatkan kapasitas mahasiswa yang tidak diimbangi dengan kesadaran pada diri mahasiswa tidak akan berarti apa-apa.
Ketika kesadaran mahasiswa sudah tebentuk dengan benar, barulah kampus menuju pada tahap selajutnya, yakni meningkatkan kapasitas intelektual mahasiswa. Dapat dimulai dari ruang kelas, seperti pola pembelajaran hingga model tugas yang diberikan oleh dosen. Hal yang paling berpengaruh didalam kelas yakni bagaimana bagaimana dosen memposisikan dirinya dihadapan mahasiswa. Dosen yang memposisikan diri sebagai fasilitator guna memantik agar diskusi di ruang kelas terjadi merupakan hal dasar yang membuat mahasiswa terbiasa mencurahkan pikiran-pikirannya, dan ini sangat berpengaruh terhadap mengembangan daya berfikir kritis mahasiswa. 

Tugas yang berbasis pada analisis dan membuat kesimpulan adalah hal yang harus dibiasakan pada diri mahasiswa. Dosen juga harus senantiasa mengamati keotentikan dari hasil karya mahasiswanya, sehingga tidak hanya memberi nilai berdasarkan apa yang disodorkan oleh mahasiswa tetapi juga mencari tahu proses yang dilalui mahasiswa. Dosen juga harus mampu membandingkan antara nilai yang diperoleh mahasiswa dari hasil mengerjakan tugas dan menjawab ujian, dengan  bagaimana keseharian mahasiswa didalam kelas. Mencurigai ketidakwajaran dari hasil ujian dengan keseharian mahasiswa diruang kelas merupakan hal yang perlu dilakukan. Agar nilai akhir yang diterima oleh mahsiswa menang benar-benar mampu merepresentasikan kapasitas mereka sebagai mahasiswa. 

Pembenahan kondisi sosial didalam kampus dapat dimulai oleh siapa pun, dapat dimulai oleh mahasiswa maupun oleh kampus. Akan lebih efektif apabila keduanya dapat bergerak bersama, saling bersinergi guna menciptakan kondisi kampus sebagaimana idealnya sehingga dapat mencetak mahasiswa yang memang mempunyai kapasitas intelektual dan dapat bersaing ketika sudah menjadi sarjana kelak. Jangan sampai hanya sekedar menyandang gelar sarjana tanpa mempunyai kapasitas seorang sarjanawan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trilogi PMII

Arti Penting Pengimplementasian Trilogi PMII Kepada Seluruh Kader PMII. Oleh : Muhammad Hanif Zein Arrosin. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah suatu organisasi mahasiswa yang bergerak memperjuangkan nilai-nilai beragama dan bernegara yang termanifestasi dalam sebuah ideologi yang menjadi dasar gerakan, atau bisa disebut sebagai Nilai Dasar Pergerakan (NDP). Ini merupakan ciri khas dari PMII. Juga merupakan identitas pembeda antara PMII dengan organisasi mahasiswa lainnya. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan nilai-nilai yang diperjuangkannya yang berbeda dengan organisasi mahasiswa lainnya pasti memiliki pola gerak yang berbeda juga. PMII dalam menjalankan perannya sebagai organisasi pergerakan mempunyai pola gerak yang termaktub dalam Trilogi PMII. Trilogi PMII merujuk pada nilai-nilai yang diperjuangkan PMII, yakni nilai-nilai bernegara dan nilai beragama. Trilogi PMII adalah Tri Motto, Tri Komitmen, dan Tri Khidmat. Tri Motto mencakup

Jangan Sampai Berubah Menjadi Musibah.

Jangan Sampai Berubah Menjadi Musibah. Oleh : Hanif Zein Wabah Covid-19 yang mengguncang dunia juga ikut dirasakan oleh masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini (14 April 2020) tercatat ada 6 pasien positif Corona dan 18 pasien dalam   pemantauan. Hal ini membuat Pemerintah Kabupaten Ponorogo semakin memperketat langkah preventif pencegahan juga penanganan terhadap pasien positif maupun pasien dalam  pemantauan. Salah satunya yakni melakukan penyemprotan desinfektan di desa-desa, yang  mana langkah ini diharapkan untuk memutus mata rantai persebaran virus Corona.   Pemerintah Kabupaten Ponorogo juga menerbitkan Protokol Isolasi mandiri bagi masyarakatnya, sebagai langkah antisipasi penyebaran Covid-19. Untuk Orang Dalam Resiko (ODR), Orang Tanpa Gangguan (OTG), Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) gejala ringan diisolasi mandiri di rumah, ditempatkan di kamar khusus dengan ventilasi terbuka. Menjaga jarak 2 meter dengan menggunakan masker dan sela

Pengawas Ujian Butuh Bantuan

UMPo Butuh Pengawas Tambahan ( Rosin ) Selasa, 14 mei 2019. Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Ponorogo melaksanakan kegiatan Ujian Tengah Semester. Dimulai pukul 08:00 hingga pukul 11:00. Diikuti kurang lebih sekitar 104 mahasiswa, mulai dari semester 2 hingga semester 6.  Pada hari pertama ini, terlihat ada 2 ruangan yang kurang kondusif, yaitu ruang B102 dan B103. Ruangan tersebut diisi oleh mahasiswa semester 2 yang sedang mengikuti UTS mata kuliah Filsafat Logika dan Etika Pemerintahan. Kedua ruangan tersebut ternyata hanya dijaga oleh satu pengawas, yang mengakibatkan peserta UTS menjadi leluasa untuk bertindak curang. Pengawas yang berada di ruangan B102 juga merangkap sebagai pengawas di ruangan B103. Ketika pengawas berada di ruang B103, maka ruang B102 tidak ada pengawas, sehingga keadaan ini dimanfaatkan oleh peserta UTS untuk bertindak curang. Pada jam pertama, terhitung sebanyak 3 kali pengawas meninggalkan ruangan B102, dan kembali lagi setelah